BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
masalah
Keluarga merupakan unit atau persekutuan terkecil dari masyarakat, dari unit ini kemudian berkembang menjadi unit lebih besar yang disebut suku, kabilah, marga, dan komunitas masyarakat yang lain, selanjutnya kesatuan suku-suku tersebut akan membentuk suatu persekutuan besar menjadi sebuah bangsa. Jadi keluarga merupakan unsur dasar dari terbentuk nya suatu bangsa atau kesatuan sosial yang besar itu sendiri.
Dalam agama Islam, membentuk suatu
keluarga didahului dengan prosesi nikah, yaitu penyatuan hubungan suami istri
dengan jalan yang halal. Menikah sangat dianjurkan oleh rasulullah SAW kepada
ummatnya, dalam sebuah hadist dikatakan “nikah adalah sunnahku, barang siapa
yang tidak menyukai sunnahku (menikah) maka ia bukan termasuk ummat dan
golonganku.” (HR. Ibn Majjah)
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi, upaya untuk mewujudkan suatu keluarga yang bahagia menemuai banyak kendala. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak seimbang dengan penghasilan yang yang semakin menurun sehingga menciptakan problem kemiskinan dimana-mana. Salah satu faktor penyebab masalah tersebut adalah semakin padatnya jumlah penduduk, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit karena banyak yang menggunakan teknologi mesin.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi, upaya untuk mewujudkan suatu keluarga yang bahagia menemuai banyak kendala. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak seimbang dengan penghasilan yang yang semakin menurun sehingga menciptakan problem kemiskinan dimana-mana. Salah satu faktor penyebab masalah tersebut adalah semakin padatnya jumlah penduduk, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit karena banyak yang menggunakan teknologi mesin.
Masalah kemiskinan tersebut kemudian
memproduksi sumber daya masyarakat yang kurang berkualitas berupa gelandangan,
pengemis, gembel dan lain sebagainya yang semakin mempersulit tujuan negara
untuk membentuk suatu bangsa yang maju, sejahtera dan makmur.
Dalam mengupayakan kesejahteraan bangsa,
upaya negara untuk membangun ke arah itu tentunya akan membutuhkan modal,
sarana, dan tenaga yang terampil dan berkualitas. Salah satu cara untuk menekan
kepadatan jumlah penduduk adalah dengan program keluarga berencana atau KB.
Namun dalam pelaksanaanya, KB tidak jarang menggunakan metode-metode yang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang terjadi di negara
Barat.
Di sisi lain, impian semua keluarga adalah mempunyai anak keturunan yang nantinya dapat menjadi pewaris bagi orang tuanya, sebuah keluarga akan terasa lengkap manakala mereka telah dikaruniai seorang anak. Namun impian untuk mendapatkan keturunan kadang tidak tecapai lantaran salah satu pasangan mandul atau masalah-masalah lain. Motif itulah yang kemudian mendorong untuk dikembangkannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung. Masalah-masalah tersebut tentunya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kerena itu dibutuhkan pendekatan khusus untuk menentukan hukum permasalahan yang terjadi pada masa kontemporer ini.
Di sisi lain, impian semua keluarga adalah mempunyai anak keturunan yang nantinya dapat menjadi pewaris bagi orang tuanya, sebuah keluarga akan terasa lengkap manakala mereka telah dikaruniai seorang anak. Namun impian untuk mendapatkan keturunan kadang tidak tecapai lantaran salah satu pasangan mandul atau masalah-masalah lain. Motif itulah yang kemudian mendorong untuk dikembangkannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung. Masalah-masalah tersebut tentunya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kerena itu dibutuhkan pendekatan khusus untuk menentukan hukum permasalahan yang terjadi pada masa kontemporer ini.
B. Rumusan masalah
Bagaimana
pandangan Islam mengenai KB?
Bagaimana
pandangan Islam mengenai inseminasi buatan?
Bagaimana
pendangan agama Islam mengenai penggunaan alat kontrasepsi?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. PELAKSANAAN
KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM ISLAM
Pengertian KB
Keluarga berencana (KB) merupakan usaha
yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu
maupun bayinya, ayah dan keluarganya, atau masyarakat yang bersangkutan,
sehingga tidak akan timbul kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran
tersebut. Secara khusus KB berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan
terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki
dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan.[1]
Di negara-negara Barat KB diterjemakan
dalam Family Planning yang dalam pelaksanaanya mencakup dua metode:
a.
Planning parenthood
Pelakasanaan metode ini menitik
beratkan kepada tanggung jawab orang tua untuk membentuk kehidupan rumah tangga
yang aman, dan tenteram meskipun tidak dengan jalan membatasi anggota keluarga.
Dalam bahasa arab metode ini diterjemahkan sebagai تَنْظِيْمُ النَّسْلِ
(mengatur keturunan).
b.
Birth control
Metode ini dilaksanakan dengan
penekanan jumlah anak atau menjarangkan kelahiran sesuai dengan situasi dan kondisi
suami istri. Dalam bahasa arab metode ini identik dengan تَحْدِيْدُالنَّسْلِ
(membatasi keturunan). Dalam prakteknya, di negara Barat dibolehkan dengan cara
pengguguran kandungan (abortus dan menstrual regulation), pemandulan
(infertilitas) dan pembujangan.[2]
Di Indonesia, program KB telah dilaksanakan sejak tahun 1968 melalui SK presiden No. 26 Tahun 1968 yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah yang bernama “Lembaga Keluarga berencana Nasional (LKBN)”, kemudian pada tahun 1969 program tersebut dimasukkan dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
Di Indonesia, program KB telah dilaksanakan sejak tahun 1968 melalui SK presiden No. 26 Tahun 1968 yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah yang bernama “Lembaga Keluarga berencana Nasional (LKBN)”, kemudian pada tahun 1969 program tersebut dimasukkan dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
Hukum
KB Di dalam al-Qur’an disebutkan:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
Artinya:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” [3]
Artinya:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” [3]
Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa
kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan
intelegensi anak akibat kekurangan gizi merupakan tanggung jawab kedua orang
tua. Maka disinilah peranan KB sangat diperlukan untuk membantu mereka keluar
dari masalah tersebut.
Setiap orang tentu mendambakan keseimbangan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk meraih keseimbangan tersebut tentunya membutuhkan banyak syarat baik syarat materil maupun spritual. Untuk memperoleh keseimbangan tersebut dalam al-Qur’an juga dijelaskan:
Setiap orang tentu mendambakan keseimbangan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk meraih keseimbangan tersebut tentunya membutuhkan banyak syarat baik syarat materil maupun spritual. Untuk memperoleh keseimbangan tersebut dalam al-Qur’an juga dijelaskan:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya:
“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [4]
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan
dengan pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan, maka pelaksanaan KB
diperdebatkan oleh kalangan ulama’, diantaranya ada yang membolehkan dan ada
yang melarang.
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut,[5] dan Sayyid Sabiq. Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan, menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.[6]
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut,[5] dan Sayyid Sabiq. Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan, menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.[6]
Syekh al-Hariri memberikan memberikan
ketentuan bagi individu dalam pelaksanaan KB, diantaranya: Untuk menjarangkan
anak.Untuk menghindari penyakit, bila ia mengandung. Untuk menghindari
kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya
(secara medis). Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu
menderita suatu penyakit (penyakit kandungan). Untuk menghindari anak dari
cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor.[7]
Sekh Mahmud Syaltut berpendapat bahwa
pembatasan keluarga تَحْدِيْدُالنَّسْل bertentangan
dengan syari’at Islam, sedangkan تَنْظِيْمُ
النَّسْل tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tandzim an-Nasl
diumpamakan dengan menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus,
baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun dengan
masyarakat dan negara. Alasan lainnya adalah karena jika suami istri menderita
suatu penyakit yang dikhawatirkan akan menular pada anaknya. [8]
Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah juga
membolehkan seseorang untuk melakasanakan KB dengan alasan sang ayah adalah
seorang faqir, tidak mampu memberikan pendidikan pada anak-anaknya, dan sang
ibu adalah orang yang dho’if (lemah) jika terus menerus melahirkan. Sebagaimana
yang tertulasi dalam kitan Fiqh Sunnah:[9]
فَيُبَاحُ التَّحْدِيْدُ فِي حَالَةِ مَا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ مُعِيلاًلَايَسْتَطِيْعُ الْقِيَامُ عَلَى تَرْبِيَّةِ أَبْنَائِهِ التَّرْبِيَّةَ الصَّحِيْحَةَ.
وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ ضَعِيْفَةً، أَوْ كَانَتْ مَوْصُوْلَةَ الْحَمْلِ، أَوْ كَانَ الرَّجُلُ فَقِيْرًا.
فَفِيْ مِثَلِ هَذِهِ الْحَالَاتِ يُبَاحُ تَحْدِيْدُ النَّسْلِ بَلْ إِنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاء رَأَى أَنَّ التَّحْدِيْدَ فِي هَذِهِ الْحَالَاتِ لَا يَكُونُ
مُبَاحًا فَقَطْ، بَلْ يَكُوْنُ مَنْدُوْباًإِلَيْهِ.
Artinya:
Pembatasan (keluarga) diperbolehkan dalam kasus apabila seorang laki-laki (ayah) adalah seorang pencari nafkah (1) dia tidak dapat melakukan pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya. Demikian pula jika sang ibu adalah wanita yang lemah, dan seorang yang sering hamil, atau seorang yang fakir.
Maka dalam kasus tersebut, pembatasan atau kontrol kelahiran diperbolehkan, namun beberapa ulama’ berpendapat bahwa pembatasan keluarga dalam kasus seperti itu tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan.
Pembatasan (keluarga) diperbolehkan dalam kasus apabila seorang laki-laki (ayah) adalah seorang pencari nafkah (1) dia tidak dapat melakukan pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya. Demikian pula jika sang ibu adalah wanita yang lemah, dan seorang yang sering hamil, atau seorang yang fakir.
Maka dalam kasus tersebut, pembatasan atau kontrol kelahiran diperbolehkan, namun beberapa ulama’ berpendapat bahwa pembatasan keluarga dalam kasus seperti itu tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan.
Sementara itu, salah satu ulama’ yang
melarang pelaksanaan KB adalah Abu ‘Ala al-Madudi (Pakistan), menurutnya
pembatasan kelahiran adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah
suatu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia, dan barangsiapa yang
merubah atau menyalahi fitrah maka ia telah menuruti perintah setan.[10]
Disamping pendapat tersebut, para ulama
yang menolak KB menggunakan dalil: ..
.وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ
إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ...
Artinya:
“... dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,..[11]
Pendapat tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa Allah Yang Maha Memberi Rezki.
“... dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,..[11]
Pendapat tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa Allah Yang Maha Memberi Rezki.
B. INSEMINASI BUATAN DALAM ISLAM
Menurut Ali Hasan, Inseminasi buatan
adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui
cara alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma laik-laki ke dalam rahim
wanita tersebut, dalam bahasa arab disebut dengan تَلْقِيْحُ الصِّنَاعِي Talqihushshina’i.[12]
Sedangkan menurut Mahyuddin, inseminasi
buatan adalah perpaduan sperma pria dengan ovum wanita, untuk maksud pembuahan
atau penghamilan.[13]
Inseminasi buatan juga dapat dikatakan
suatu penghamilan melalui proses memperpadukan sperma dengan ovum telur tanpa
melalui senggama, baik sperma tersebut dimasukkan langsung ke dalam rahim
wanita, maupun dengan cara mempertemukan keduanya di dalam tabung, kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita. Yang kemudian dimasukkan ke dalam rahim
wanita yang kemudian dikenal dengan istilah bayi tabung.[14]
Inseminasi menurut dari asal sperma
yang digunakan dibagi dua yaitu:
Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband)
Inseminasi buatan dengan sperma donor atau bukan dari suami atau AID (Artificial Insemination Donor). Para ulama’ membolehkan inseminasi dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara disuntikkan ke dalam rahim ibu maupun dengan cara pembuahan di luar rahim yang lazim disebut bayi tabung. Di antara ulama tersebut adalah Mahmud Syaltut, beliau menyatakan bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum dan syari’at yang diikuti oleh masyarakat beradab. Lebih lanjut beliau katakan ...”dan tidak menimbulkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dapat dijadikan suatu cara untuk memperoleh anak yang sah menurut syaria’at.[15]
Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband)
Inseminasi buatan dengan sperma donor atau bukan dari suami atau AID (Artificial Insemination Donor). Para ulama’ membolehkan inseminasi dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara disuntikkan ke dalam rahim ibu maupun dengan cara pembuahan di luar rahim yang lazim disebut bayi tabung. Di antara ulama tersebut adalah Mahmud Syaltut, beliau menyatakan bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum dan syari’at yang diikuti oleh masyarakat beradab. Lebih lanjut beliau katakan ...”dan tidak menimbulkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dapat dijadikan suatu cara untuk memperoleh anak yang sah menurut syaria’at.[15]
Prinsip kebolehan tersebut juga
didasarkan pada kaidah ushul fiqh:
تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ الحَاجَةُ
bahwa hajat atau keperluan yang sangat
penting diberlakukan seperti keadaan dharurat.
Menurut Saifuddin Mujtaba, pertimbangan
yang dapat dijadikan landasan dibolehkannya insiminasi buatan dengan sperma
suami adalah:
Tidak ada larangan dari al-Qur’an maupun al-Hadist mengenai hal tersebut.
Insiminsi buatan dengan sperma suami sendiri dapat dipandang sebagai semacam perawatan medis dan ikhtiar dari suami-istri yang sulit mendapatkan keturunan dengan cara normal. Dilakukan karena adanya unsur hajat pada anak atau keturunan yang lazim didambakan oleh suami-istri lainnya. Sebagai upaya rasional sebagai jalan keluar dari permasalahan keluaga tersebut.[16]
Tidak ada larangan dari al-Qur’an maupun al-Hadist mengenai hal tersebut.
Insiminsi buatan dengan sperma suami sendiri dapat dipandang sebagai semacam perawatan medis dan ikhtiar dari suami-istri yang sulit mendapatkan keturunan dengan cara normal. Dilakukan karena adanya unsur hajat pada anak atau keturunan yang lazim didambakan oleh suami-istri lainnya. Sebagai upaya rasional sebagai jalan keluar dari permasalahan keluaga tersebut.[16]
Hal tersebut juga sesuai dengan firman
Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan”[17]
“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan”[17]
Adapun inseminasi buatan dengan sperma
donor menurut yusuf al-Qardhawi adalah Haram. Inseminasi dengan donor akan
menimbulkan banyak masalah seperti halnya masalah pada anak hasil perzinahan.
Disamping itu inseminasi dengan cara tersebut juga tidak sesuai dengan moral
etis dan kesusilaan.[18]
Dalam
hadist yang diriwayatkan Ibn Abi Dunya disebutkan:
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ اَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ
نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحِيمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ
Artinya:
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi allah daripada setetes
sperma yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam rahim yang tidak halal
baginya”[19] Jadi dapat disimpulkan bahwa upaya inseminasi buatan dan bayi
tabung dibolehkan dalam ajaran Islam manakala perpaduan sperma dengan ovum itu
bersumber dari suami istri yang sah. Karena upaya tersebut merupakan jalan
keluar bagi pasangan yang menginginkan keturunan dan sifatnya hanyalah
menghilangkan kesukaran sebagaimna kaidah fiqhiyah: الضَّرَرُ يُزَالُ Artinya:
“Madharat (kesulitan) itu dapat dihindarkan (dalam agama)”[20]
“Madharat (kesulitan) itu dapat dihindarkan (dalam agama)”[20]
C.PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI DALAM
ISLAM
Istilah kontrasepsi berasal dari dua
suku kata, yaitu kontra yang berarti mencegah atau melawan, dan konsepsi adalah
pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria)
yang mengakibatkan kehamilan. Jadi yang dimakasud dari kontrasepsi adalah
menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat dari pertemuan antara
sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut.[21]
Prisip dari alat kontrasepsi ini adalah
mengusahakan agar tidak terjadi evolusi, melumpuhkan sperma, dan menghalangi
pertemuan sel telur dengan sperma. Dari prinsip-prinsip tersebut kemudian
pelaksanaanya dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara, diantaranya
adalah: AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim), susuk KB, pil KB, suntikan KB,
kondom, dan lain sebagainya.
Meskipun program KB telah diperbolehkan dalam Islam, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya diperbolehkan mengggunakan sembarang alat kontrasepsi. Dalam Islam alat kontrasepsi atau وَسَائِلُ مَنْعِ الْحَمْلِ sebagaimana yang sering digunakan dalam program KB, ada yang diperbolehkan dan dilarang.
Alat kontrasepsi yang dilegalkan oleh negara selama ini sangat terbatas, hal tersebut atas pertimbangan etis, moral dan hukum agama yang tidak menghendaki pelaksanaannya.[22]
Meskipun program KB telah diperbolehkan dalam Islam, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya diperbolehkan mengggunakan sembarang alat kontrasepsi. Dalam Islam alat kontrasepsi atau وَسَائِلُ مَنْعِ الْحَمْلِ sebagaimana yang sering digunakan dalam program KB, ada yang diperbolehkan dan dilarang.
Alat kontrasepsi yang dilegalkan oleh negara selama ini sangat terbatas, hal tersebut atas pertimbangan etis, moral dan hukum agama yang tidak menghendaki pelaksanaannya.[22]
Diantara alat kontrasepsi yang
diperbolehkan adalah:
Untuk
wanita: IUD (ADR), Pil, Obat suntik, Susuk, dan Cara-cara tradisional dan
metode yang sederhana, misalnya: minum jamu. Untuk pria: Kondom, Coitus interruptus
(‘azl menurut Islam) [23]
Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan
bahwa coitus interruptus diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
sahabat:
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالقُرْآنُ يُنْزِلُ
Artinya:
“kami melakukan azl pada masa rasulullah Saw, sedangkan al-Qur’an masih tetap diturunkan”. (HR. Bukhari)
“kami melakukan azl pada masa rasulullah Saw, sedangkan al-Qur’an masih tetap diturunkan”. (HR. Bukhari)
Azl menurut hadits tersebut
diperbolehkan karena pada waktu sahabat melakukannya tidak ada ayat yang
melarangnya, padahal al-Qur’an masih selalu turun. Jadi seandainya perbuatan
tersebut dilarang maka pasti akan ada ayat al-qur’an yang turun untuk
mencegahnya, begitu pula sikap Nabi yang tidak melarangnya. Hal tersebut
menunjukkan dibolehkanya cara Coitus Interruptus dalam Islam. Sedangkan alat
kontrasepsi yang dilarang dalam Islam diantarnya adalah: Untuk wanita Menstrual
Regulation (MR) atau pengguguran kandungan yang masih muda Abortus atau
pengguguran kandungan yang sudah bernyawa
Ligasi tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengikat tempat ovum). Kedua istilah ini disebut dengan sterilisasi Untuk pria: seperti vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar). Cara ini juga disebut dengan sterilisasi.[24]
Ligasi tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengikat tempat ovum). Kedua istilah ini disebut dengan sterilisasi Untuk pria: seperti vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar). Cara ini juga disebut dengan sterilisasi.[24]
Cara-cara tersebut tidak diperbolehkan
dalam agama Islam karena memandang aspek moral dan penuh resiko. MR dan aborsi
dianggap sebagai tindakan kriminal karena melenyapkan janin, sedangkan
sterilisasi dilarang karena sifatnya adalah permanen. Pemandulan dalam Islam
yang diperbolehkan adalah yang berlaku pada waktu-waktu tertentu saja
(temporer), jadi jika suatu saat sang suami-istri menginginkan seorang
anak, maka alat kontrasepsi dapat ditinggalkan. Namun pada sterilisasi bersifat
pemandulan selama-lamanya, hal tersebutlah menjadikanya haram.
DAFTAR
PUSTAKA
Depag RI, 2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah. Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Hasan, M. Ali, 1998, Masail Fiqhiyah Al-Hadistah, Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mahyuddin, 1998, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta:
Kalam Mulia
Mujtaba, Saifuddin, 2008, Al-Masailul Fiqhiyah; Jawaban Hukum Islam
Terhadap Masalah-Masalah Kontemporer, Surabaya: Omega Offset
Sayyid Sabiq, t.t., Fiqh As-Sunnah, Juz
2, Beirut: Dâr al-Kitab Al ‘Ârabi dalam Maktabah As-Syamilah
http://www.scribd.com/makalah-KONTRASEPSI/d/18753707
(30 Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar