Halaman

Translate

selamat datang di blog saya

terimakasih sudah berkunjung...

Minggu, 20 Mei 2012

langkah-langkah membuat proposal skripsi


Dalam membuat proposal skripsi secara umum terdapat langkah-langkah atau kriteria yang harus dicantumkan dalam proposal skripsi. untuk langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Latar Belakang Masalah
Latar belakang berisi uraian mengenai penting dan perlu dilakukannya penelitian. Alasah harus diarahkan pada sifat dan implikasi dari gejala itu sendiri, akan lebih baik lagi bila mendapat justifikasi teori atau konsep. Karenanya, dalam latar belakang perlu dikemukakan pula berbagai fakta untuk memperkuat alasan perlunya dilakukan penelitian tersebut.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah kunci dalam setiap penelitian, tidak ada masalah maka tidak ada penelitian. Masalah penelitian hendaknya dirumuskan dengan tajam, jelas, terarah, dan harus mengikuti logika berfikir yang benar dan didasarkan pada kreatifitas dan imaginasi peneliti, yang dapat bersumber dari minat personal atau bersumber dari teori
Masalah itu harus bersifat problematis, artinya mempunyai kesenjangan antara yang nyata dengan yang ideal, sehingga membutuhkan penjelasan karena kesenjangan itu akan mempunyai implikasi yang luas baik secara teoritis mapun praktis. Karenanya, masalah itu cukup satu. Kemudian, masalah tersebut dielaborasi (diturunkan) menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian, tapi jangan terlalu banyak (maksimal tiga pertanyaan), agar pertanyaan menjadi fokus, tidak melebar kemana-mana.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan tentunya sangat ditentukan oleh masalah yang diajukan, dan intinya berisi tentang kontribusi hasil penelitian bagi kepentingan keilmuan atau kepentingan-kepentingan yang bersifat praktis.
4. Manfaat Penelitian
Menjelaskan tentang manfaat penelitian baik untuk si pembaca, bidang ilmu tertentu, maupun untuk jurusannya
5. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka untuk menjawab pertanyaan penelitian. Istilah “teori” di sini menunjuk pada sumber penyusunan kerangka, yang bisa berupa teori yang ada, definisi konsep, atau malah dapat pula dari logika. Orang biasanya ragu menggunakan kata “teori”, karena dianggapnya hanya untuk penelitian yang bernalar deduktif. Padahal tidak demikian. Sekali lagi, kerangka untuk menjawab pertanyaan penelitian tetap diperlukan dalam penelitian bernalar induktif. Jika konsep yang dijadikan sumber menyusun kerangka tersebut, maka sub judul ini bisa diganti menjadi “kerangka konseptual”. Jika logika yang digunakan, maka sub judul ini menjadi “kerangka pemikiran”.
6. Metode Penelitian
Pengertian metode, pendekatan, dan penalaran dalam skripsi kita sering bercampur aduk dan salah pakai.
Metode penelitian merupakan cara atau langkah-langkah konkrit dari penelitian: alasan pemilihan lokasi, dengan cara apat data dikumpulkan, diolah dan dianalisis. Metode yang dipakai sangat ditentukan oleh masalah yang diajukan.
Pendekatan adalah alat atau cara pandang yang digunakan untuk “mendekati” masalah
Penalaran adalah cara atau alur berfikir (induktif, deduktif)
7. Lokasi dan Waktu Penelitian*
Menjelaskan tempat penelitian serta waktu pelaksanaan penelitian
8. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bersi paparan riwayat penelitian yang pernah dilakukan, baik terkait dengan tema yang diangkat maupun dengan lokasi/kawasan yang akan diteliti. Paparan itu tidak hanya berisi tentang penemuan-penemuan penting dari peneliian yang sudah dilakukan, tapi juga mengenai pendekatan dan metode yang mereka gunakan. Karenanya, tinjauan pustaka juga berfungsi untuk menunjukkan orisinalitas penelitian, bahwa penelitian ini beda dengan penelitian yang sudah dilakukan, atau bisa juga bersifat melengkapi dan memperbaiki penelitian yang sudah dilakukan.
Sumber : wordpress.com

Jumat, 04 Mei 2012

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM



Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa". (QS 49: 13).
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan."
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari’at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka.
Kedudukan Wanita Sebelum datangnya Islam
Status wanita dalam Islam akan lebih mudah dan jelas dipahami kalau kita terlebih dahulu melihat bentangan sejarah peradaban manusia tentang bagaimana wanita diposisikan dalam masyarakat sebelum datangnya Islam. Apakah masyarakat pra-Islam memposisikan wanita sama, lebih baik atau bahkan lebih jelek? Menurut Jawad (1998) sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kedudukan wanita, sebelum datangnya Islam, sangat mengkhawatirkan, mereka tidak dipandang sebagai manusia yang pantas dihargai. Bahkan wanita tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial dan memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di tempat yang terhormat di masyarakat. Praktek yang inhuman ini tercatat berlangsung lama dalam sejarah peradaban masyarakat terdahulu. Mendeskripsikan status wanita Yunani kuno, Badawi (1990) menulis: “….Athenian women were always minors, subject to some male…”. Dalam tradisi Hindu, sebagaimana tertulis dalam The Encyclopaedia Britannica, bahwa ciri seorang isteri yang baik adalah wanita yang pikiran, perkataan, dan seluruh tingkah lakunya selalu patuh pada suaminya bagaimanapun seorang suami bersikap kepadanya. Dalam tradisi dan hukum Romawi Kuno bahkan disebutkan bahwa wanita adalah makhluk yang selalu tergantung kepada laki-laki. Jika seorang wanita menikah, maka dia dan seluruh hartanya secara otomatis menjadi milik sang suami. Ini hampir sama dengan yang tertulis dalam English Common Law, …all real property which a wife held at the time of a marriage became a possession of her husband.
Dalam tradisi Arab, kondisi wanita menjelang datangnya Islam bahkan lebih memprihatinkan. Wanita di masa jahiliyah dipaksa untuk selalu taat kepada kepala suku atau suaminya. Mereka dipandang seperti binatang ternak yang bisa di kontrol, dijual atau bahkan diwariskan. Arab jahiliyah terkenal dengan tradisi mengubur bayi wanita hidup-hidup dengan alasan hanya akan merepotkan keluarga dan mudah ditangkap musuh yang pada akhirnya harus ditebus. Dalam dunia Arab jahiliyah juga dikenal tradisi tidak adanya batasan laki-laki mempunyai isteri. Kepala suku berlomba-lomba mempunyai isteri sebanyak-banyaknya untuk memudahkan membangun hubungan famili dengan suku lain. Ali Asghar Engineer (1992) bahkan mencatat kebiasaan kepala suku untuk mempunyai tujuh puluh sampai sembilan puluh isteri. Budaya barbar penguburan hidup-hidup bayi wanita dan tidak adanya batasan mempunyai isteri dilarang ketika Islam datang, dan ini bagi Engineer adalah salah satu prestasi luar biasa peningkatan status wanita dalam Islam.
Tradisi lain yang berkembang di masyarakat jahiliyyah sebelum Islam datang adalah adanya tiga bentuk pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan wanita. Pertama adalah nikah al-dayzan, dalam tradisi ini jika suami seorang wanita meninggal, maka anak laki-laki tertuanya berhak untuk menikahi ibunya. Jika sang anak berkeinginan untuk menikahinya, maka sang anak cukup melemparkan sehelai kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai isteri. Kedua, zawj al-balad, yaitu dua orang suami sepakat untuk saling menukar isteri tanpa perlu adanya mahar. Ketiga adalah zawaj al istibda. Dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali lagi kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan sepasang suami isteri memperoleh “bibit unggul” dari orang lain yang dipandang mempunyai kelebihan.
Dari pemaparan bentuk-bentuk tradisi masyarakat pra-Islam terhadap wanita diatas kita bisa berasumsi bahwa wanita sebelum Islam sangat dipandang rendah dan tidak dianggap sebagai manusia, mereka lebih dipandang sebagai barang seperti harta benda yang lainnya. Dengan asumsi ini kita dengan mudah akan melihat bagaimana Islam memposisikan wanita dan mencoba menghapus tradisi jahiliyah tersebut.
Wanita dalam Islam: Spiritual, Ekonomi dan Sosial
Ketika mendiskusikan segala topik yang berhubungan dengan Islam, adalah tidak bisa dihindarkan untuk selalu merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an. Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kedudukan wanita dalam Islam, bahkan salah satu surat dari Al-Quran disebut surat an-Nisa (Wanita). Konsep yang paling familiar tentang kedudukan wanita dalam Islam yang sering disebut al-Qur’an adalah konsep women equality. Equality, responsibility dan accountability antara wanita dan laki-laki  adalah tema dalam Al-Quran yang sering ditekankan. Term persamaan antara laki-laki dan wanita dimata Tuhan tidak hanya terbatas pada hal-hal spiritual atau isu-isu religius semata, lebih jauh Al-Qur’an berbicara tentang persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala aspekzkehidupan.
Menurut Al-Qur’an, wanita dan laki-laki mempunyai spiritual human-nature yang sama. Al-Qur’an menyebutkan bahwa kedua jenis kelamin, laki-laki dan wanita, masing-masing berdiri sendiri dan independen. Al-Qur’an sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, bahkan isu tentang jenis kelamin mana yang lebih dahulu diciptakan, Al-Quran tidak memberikan spesifikasi yang jelas. Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan zawj; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain [264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS 4:1).
Muhammad Asad (1980) dalam The Message of the Quran menulis bahwa kata Arab zawj (mate) dalam ayat diatas secara gramatik bahasa adalah netral dan bisa dipakai untuk menyebut laki-laki atau wanita. Karenanya, Al-Quran tidak menyebut dengan jelas apakah Adam diciptakan terlebih dahulu kemudian Hawa dan juga tidak menyebut kalau Hawa (wanita) adalah subordinasi dari Adam (laki-laki). Fakta bahwa al-Qur’an tidak secara spesifik menyebut jenis kelamin mana yang diciptakan lebih dahulu adalah bukti tidak adanya bias jender dalam penciptaan manusia dalam Islam. Lebih jauh Al-Qur’an menyebut bahwa fungsi utama penciptaan manusia (laki-laki dan wanita) adalah bahwa keduanya dipercaya sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam hal kewajiban moral-spiritual beribadah kepada Sang pencipta, Al-Quran menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Dalam lebih dari satu ayat, Al-Qur’an menyebut bahwa siapa pun yang berbuat baik, laki-laki atau wanita, Tuhan akan memberikan pahala yang setimpal (QS: 3:195 dan 16:97).
Untuk hak-hak yang bersifat ekonomis, Al-Qur’an mengenal adanya hak penuh bagi wanita sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelum menikah seorang wanita memiliki kekayaan pribadi, maka begitupun setelah dia menikah. Dia mempunyai hak kontrol penuh terhadap kekayaannya. Berkenaan dengan hak ekonomis bagi wanita, Badawi (1995) menyebutkan bahwa di Eropa, sampai akhir abad 19, wanita tidak mempunyai hak penuh untuk memiliki kekayaan. Ketika seorang wanita menikah, secara otomatis harta seorang wanita menjadi milik sang suami atau kalau si isteri mau mempergunakan harta yang sebenarnya milik dia ketika belum menikah, harus mempunyai ijin dari sang suami. Badawi menunjuk kasus hukum positif Inggris sebagai contoh. Di Inggris, hukum positif tentang wanita mempunyai hak kepemilikan baru diundangkan pada sekitar tahun 1860-an yang terkenal dengan undang-undang “Married Women Property Act”. Padahal Islam telah mengundangkan hukum positif hak pemilikan wanita 1300 tahun lebih awal ( Lihat QS 4:7dan 4:32).
Mendiskusikan posisi wanita di bidang sosial, adalah penting untuk melihat bagaimana peranan wanita sebagai anak, isteri dan ibu dalam Islam. Ketika tradisi penguburan hidup-hidup bayi wanita menjamur dalam tradisi jahiliyah Arab, Islam dengan tegas melarangnya dan bahkan menganggap tradisi itu sebagai tradisi barbar yang tidak bermoral. Lebih jauh, sebagai ibu, wanita mempunyai posisi yang sangat terhormat dalam Islam. Al-Qur’an memerintahkan setiap anak yang beragama Islam untuk mempunyai respektifitas yang tinggi terhadap orang tua, terutama ibu (QS 31:14).
Kegagalan untuk hormat pada orang tua termasuk pelanggaran yang berimplikasi dosa besar. Kedudukan wanita sebagai isteri pun sangat dihargai dalam Islam. Al-Qur’an dengan jelas menekankan bahwa pernikahan dalam Islam adalah love-sharing antara dua insan yang berbeda jenis dalam masyarakat dengan tujuan mempertahankan keturunan dan menciptakan spiritual-harmony (QS 30:21).
Pemaparan keadaan wanita dalam Islam diatas dengan jelas mengindikasikan bahwa posisi wanita diangkat martabatnya ketika Islam datang. Kedatangan Islam bahkan bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan pelecehan harkat wanita. Fazlur Rahman (1982) menulis “… tak ada bukti sama sekali bahwa wanita dalam Islam dipandang sebagai lebih rendah dari laki-laki”.
Perlunya Reinterpretasi Al-Qur’an
Meskipun dengan jelas Al-Qur’an telah memposisikan wanita dalam martabat yang terhormat, ada beberapa ayat yang dipandang sebagai adanya superioritas laki-laki atas wanita. Allah berfirman:
 “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’  Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(QS 2:228).
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS  4:34).
Mengomentari dua ayat di atas yang terkadang menjadi sumber miskonsepsi tentang wanita dalam Islam, tokoh feminist Muslim seperti Fatima Mernissi (1992) dan Amina Wadud (1999) menyarankan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an di atas perlu reinterpretasi. Karena Al-Quran diturunkan dengan latar belakang sosio-historis Arab, maka kata Rahman (1982) kita harus sadar bahwa al-Quran adalah respon Ilahi terhadap kultur Arab, karenanya yang harus kita cari dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah semangat ideal moral yang lebih luas yang bisa diterapkan disegala masa dan tempat. Berkenaan dengan posisi wanita, yang harus kita cari adalah semangat egaliter yang sering ditekankan Al-Qur’an.
Dalam kata-kata Wadud (1999) untuk mengetahui secara komprehensif  bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang wanita, kaum Muslimin harus berani meinginterpretasi seluruh ayat Al-Quran yang berbicara tentang wanita dan menganalisanya dengan kritis dengan memperhatikan “its context, in the light of overriding Quranic principles and within the context of the Quranic weltanschauung”. Artinya Muslim dituntut untuk tidak hanya memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang wanita secara tekstual dan literal tapi juga harus memperhatikan konteks dimana dan kapan ayat Quran turun.
Akhirnya, kalau secara prinsip Al-Quran mempromosikan peningkatan status wanita dalam Islam dalam ayat-ayatnya dan wanita Muslim menikmati status itu di awal periode kedatangan Islam, mengapa stereotype dan image bahwa wanita dalam Islam adalah terbelakang, tertindas dan menjadi makhluk kelas dua muncul di abad Modern ini? Sulit menjawabnya memang, tapi nampaknya penting untuk dicatat bahwa disamping kita perlu mengkaji ulang dan reinterpretasi ayat-ayat Quran untuk menjawab tantangan modernitas, adalah bijak kalau kita memperhatikan pernyataan  Ranna Kabbani (1989) dalam bukunya Letter to Christendom yang mencatat: “…in Islamic society, as in the West, the oppression of women is usually more the result of poverty and lack of education and other opportunities, than of religion”.
Mungkin Kabbani benar bahwa kalaupun ada kecenderungan memposisikan wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat Islam, sebagaimana terjadi di Barat, bukan disebabkan oleh faktor agama tapi lebih karena faktor kemiskinan, kurang pendidikan dan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada wanita untuk berkarya. Wallahu a’lam.
Perempuan memiliki peranan yang tidak dapat diabaikan dengan mudah begitu saja. Banyak peranan perempuan baik di dalam kehidupan keluarga, kehidupan ekonomi, politik, sosial kebudayaan, hingga dalam pendidikan dan agama. Di tingkat keluarga, sebagai seorang anak, perempuan berperan sebagai pemelihara tradisi, norma, dan nilai-nilai luhur sehingga terdapat tuntutan bahwa di masyarakat ia harus menunjukkan ciri feminism dan kepatuhan sebagai bentuk sifat kelembutan dan perhatian yang ia miliki. Sebagai seorang istri, perempuan harus mampu menjadi “abdi” setia yang siap melayani sepenuhnya hak-hak dan keinginan suami. Sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, perempuan harus menjadi orang yang paling “peduli”, sebagai orang pertama di lingkungan anak dan memiliki tanggung jawab besar terhadap anak, mendidiknya dan menjadikannya shaleh dan shalehah, berbakti dan berkepribadian baik.
Peranan yang dimainkan dalam sebuah keluarga inilah yang sebenarnya menjadi dasar berlanjutnya perlakuan diskriminasi jender. Perempuan harus mampu memegang dan mempertahankan citra eksklusifnya di kalangan masyarakat. Citra perempuan yang ideal sebagai sosok yang bergerak “sesuai kodratnya” masih tetap bergema dan semarak hingga saat ini dan hal itu menjadi tuntutan umum yang dirasakan oleh perempuan-perempuan dunia, terutama di Indonesia. Citra perempuan ideal tersebut dianggap sebagai ketimpangan jender. Hal ini dikarenakan peranan yang dimaninkan oleh laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan tugas, hak, dan kewajiban sebenarnya secara fisik melainkan sebagai pengampu tanggung jawab berdasarkan kodrat.
Berdasarkan hal tersebut, tak jarang kaum perempuan sering dilukiskan sebagai pekerja keras dan rela mengorbankan diri. Hal ini adalah akibat yang muncul dari ketimpangan jender tersebut. Tak hanya masyarakat umum, banyak dari dalam diri permpuan pun ternyata masih memiliki kesadaran rendah terhadap ketimpangan jender. Bahkan, lebih parah adalah kaum perempuan seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah menggali lobang permanen untuk memposisikan dirinya dalam ketimpangan tersebut semakin kuat, terutama dalam keluarga. Untuk itu, di dalam sebuah pembangunan, integrasi perempuan sangat diperlukan dalam mewujudkan adanya kesadaran sosial yang tinggi (Subadio & Ihromi 1978).

PANDANGAN ISLAM TENTANG KB



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah

            Keluarga merupakan unit atau persekutuan terkecil dari masyarakat, dari unit ini kemudian berkembang menjadi unit lebih besar yang disebut suku, kabilah, marga, dan komunitas masyarakat yang lain, selanjutnya kesatuan suku-suku tersebut akan membentuk suatu persekutuan besar menjadi sebuah bangsa. Jadi keluarga merupakan unsur dasar dari terbentuk nya suatu bangsa atau kesatuan sosial yang besar itu sendiri.
Dalam agama Islam, membentuk suatu keluarga didahului dengan prosesi nikah, yaitu penyatuan hubungan suami istri dengan jalan yang halal. Menikah sangat dianjurkan oleh rasulullah SAW kepada ummatnya, dalam sebuah hadist dikatakan “nikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak menyukai sunnahku (menikah) maka ia bukan termasuk ummat dan golonganku.” (HR. Ibn Majjah)
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi, upaya untuk mewujudkan suatu keluarga yang bahagia menemuai banyak kendala. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak seimbang dengan penghasilan yang yang semakin menurun sehingga menciptakan problem kemiskinan dimana-mana. Salah satu faktor penyebab masalah tersebut adalah semakin padatnya jumlah penduduk, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit karena banyak yang menggunakan teknologi mesin.
Masalah kemiskinan tersebut kemudian memproduksi sumber daya masyarakat yang kurang berkualitas berupa gelandangan, pengemis, gembel dan lain sebagainya yang semakin mempersulit tujuan negara untuk membentuk suatu bangsa yang maju, sejahtera dan makmur.
Dalam mengupayakan kesejahteraan bangsa, upaya negara untuk membangun ke arah itu tentunya akan membutuhkan modal, sarana, dan tenaga yang terampil dan berkualitas. Salah satu cara untuk menekan kepadatan jumlah penduduk adalah dengan program keluarga berencana atau KB. Namun dalam pelaksanaanya, KB tidak jarang menggunakan metode-metode yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang terjadi di negara Barat.
Di sisi lain, impian semua keluarga adalah mempunyai anak keturunan yang nantinya dapat menjadi pewaris bagi orang tuanya, sebuah keluarga akan terasa lengkap manakala mereka telah dikaruniai seorang anak. Namun impian untuk mendapatkan keturunan kadang tidak tecapai lantaran salah satu pasangan mandul atau masalah-masalah lain. Motif itulah yang kemudian mendorong untuk dikembangkannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung. Masalah-masalah tersebut tentunya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kerena itu dibutuhkan pendekatan khusus untuk menentukan hukum permasalahan yang terjadi pada masa kontemporer ini.



B. Rumusan masalah
Bagaimana pandangan Islam mengenai KB?
Bagaimana pandangan Islam mengenai inseminasi buatan?
Bagaimana pendangan agama Islam mengenai penggunaan alat kontrasepsi?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  PELAKSANAAN KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM ISLAM

Pengertian KB
Keluarga berencana (KB) merupakan usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu maupun bayinya, ayah dan keluarganya, atau masyarakat yang bersangkutan, sehingga tidak akan timbul kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Secara khusus KB berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan.[1]
Di negara-negara Barat KB diterjemakan dalam Family Planning yang dalam pelaksanaanya mencakup dua metode:

a.    Planning parenthood
Pelakasanaan metode ini menitik beratkan kepada tanggung jawab orang tua untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang aman, dan tenteram meskipun tidak dengan jalan membatasi anggota keluarga. Dalam bahasa arab metode ini diterjemahkan sebagai تَنْظِيْمُ النَّسْلِ (mengatur keturunan).

b.   Birth control
Metode ini dilaksanakan dengan penekanan jumlah anak atau menjarangkan kelahiran sesuai dengan situasi dan kondisi suami istri. Dalam bahasa arab metode ini identik dengan تَحْدِيْدُالنَّسْلِ (membatasi keturunan). Dalam prakteknya, di negara Barat dibolehkan dengan cara pengguguran kandungan (abortus dan menstrual regulation), pemandulan (infertilitas) dan pembujangan.[2]
 Di Indonesia, program KB telah dilaksanakan sejak tahun 1968 melalui SK presiden No. 26 Tahun 1968 yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah yang bernama “Lembaga Keluarga berencana Nasional (LKBN)”, kemudian pada tahun 1969 program tersebut dimasukkan dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
Hukum KB Di dalam al-Qur’an disebutkan:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
Artinya:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” [3]
Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak akibat kekurangan gizi merupakan tanggung jawab kedua orang tua. Maka disinilah peranan KB sangat diperlukan untuk membantu mereka keluar dari masalah tersebut.
Setiap orang tentu mendambakan keseimbangan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk meraih keseimbangan tersebut tentunya membutuhkan banyak syarat baik syarat materil maupun spritual. Untuk memperoleh keseimbangan tersebut dalam al-Qur’an juga dijelaskan:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Artinya:
 “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [4]

Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan dengan pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan, maka pelaksanaan KB diperdebatkan oleh kalangan ulama’, diantaranya ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut,[5] dan Sayyid Sabiq.   Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan, menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.[6]
Syekh al-Hariri memberikan memberikan ketentuan bagi individu dalam pelaksanaan KB, diantaranya: Untuk menjarangkan anak.Untuk menghindari penyakit, bila ia mengandung. Untuk menghindari kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya (secara medis). Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan). Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor.[7]
Sekh Mahmud Syaltut berpendapat bahwa pembatasan keluarga تَحْدِيْدُالنَّسْل bertentangan dengan syari’at Islam, sedangkan تَنْظِيْمُ النَّسْل tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tandzim an-Nasl diumpamakan dengan menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun dengan masyarakat dan negara. Alasan lainnya adalah karena jika suami istri menderita suatu penyakit yang dikhawatirkan akan menular pada anaknya. [8]
Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah juga membolehkan seseorang untuk melakasanakan KB dengan alasan sang ayah adalah seorang faqir, tidak mampu memberikan pendidikan pada anak-anaknya, dan sang ibu adalah orang yang dho’if (lemah) jika terus menerus melahirkan. Sebagaimana yang tertulasi dalam kitan Fiqh Sunnah:[9]

فَيُبَاحُ التَّحْدِيْدُ فِي حَالَةِ مَا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ مُعِيلاًلَايَسْتَطِيْعُ الْقِيَامُ عَلَى تَرْبِيَّةِ أَبْنَائِهِ التَّرْبِيَّةَ الصَّحِيْحَةَ.
وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ ضَعِيْفَةً، أَوْ كَانَتْ مَوْصُوْلَةَ الْحَمْلِ، أَوْ كَانَ الرَّجُلُ فَقِيْرًا.
فَفِيْ مِثَلِ هَذِهِ الْحَالَاتِ يُبَاحُ تَحْدِيْدُ النَّسْلِ بَلْ إِنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاء رَأَى أَنَّ التَّحْدِيْدَ فِي هَذِهِ الْحَالَاتِ لَا يَكُونُ 
                                                                                مُبَاحًا فَقَطْ، بَلْ يَكُوْنُ مَنْدُوْباًإِلَيْهِ.
Artinya:
Pembatasan (keluarga) diperbolehkan dalam kasus apabila seorang laki-laki (ayah) adalah seorang pencari nafkah (1) dia tidak dapat melakukan pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya. Demikian pula jika sang ibu adalah wanita yang lemah, dan seorang yang sering hamil, atau seorang yang fakir.
Maka dalam kasus tersebut, pembatasan atau kontrol kelahiran diperbolehkan, namun beberapa ulama’ berpendapat bahwa pembatasan keluarga dalam kasus seperti itu tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan.
Sementara itu, salah satu ulama’ yang melarang pelaksanaan KB adalah Abu ‘Ala al-Madudi (Pakistan), menurutnya pembatasan kelahiran adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah suatu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia, dan barangsiapa yang merubah atau menyalahi fitrah maka ia telah menuruti perintah setan.[10]
Disamping pendapat tersebut, para ulama yang menolak KB menggunakan dalil: ..
.وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ...
Artinya:
“... dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,..[11]
Pendapat tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa Allah Yang Maha Memberi Rezki.

B. INSEMINASI BUATAN DALAM ISLAM

Menurut Ali Hasan, Inseminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma laik-laki ke dalam rahim wanita tersebut, dalam bahasa arab disebut dengan تَلْقِيْحُ الصِّنَاعِي  Talqihushshina’i.[12]
Sedangkan menurut Mahyuddin, inseminasi buatan adalah perpaduan sperma pria dengan ovum wanita, untuk maksud pembuahan atau penghamilan.[13]
Inseminasi buatan juga dapat dikatakan suatu penghamilan melalui proses memperpadukan sperma dengan ovum telur tanpa melalui senggama, baik sperma tersebut dimasukkan langsung ke dalam rahim wanita, maupun dengan cara mempertemukan keduanya di dalam tabung, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita. Yang kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita yang kemudian dikenal dengan istilah bayi tabung.[14]
Inseminasi menurut dari asal sperma yang digunakan dibagi dua yaitu:
Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband)
Inseminasi buatan dengan sperma donor atau bukan dari suami atau AID (Artificial Insemination Donor). Para ulama’ membolehkan inseminasi dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara disuntikkan ke dalam rahim ibu maupun dengan cara pembuahan di luar rahim yang lazim disebut bayi tabung. Di antara ulama tersebut adalah Mahmud Syaltut, beliau menyatakan bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum dan syari’at yang diikuti oleh masyarakat beradab. Lebih lanjut beliau katakan ...”dan tidak menimbulkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dapat dijadikan suatu cara untuk memperoleh anak yang sah menurut syaria’at.[15]
Prinsip kebolehan tersebut juga didasarkan pada kaidah ushul fiqh:
تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ الحَاجَةُ bahwa hajat atau keperluan yang sangat penting diberlakukan seperti keadaan dharurat.
Menurut Saifuddin Mujtaba, pertimbangan yang dapat dijadikan landasan dibolehkannya insiminasi buatan dengan sperma suami adalah:
Tidak ada larangan dari al-Qur’an maupun al-Hadist mengenai hal tersebut.
Insiminsi buatan dengan sperma suami sendiri dapat dipandang sebagai semacam perawatan medis dan ikhtiar dari suami-istri yang sulit mendapatkan keturunan dengan cara normal. Dilakukan karena adanya unsur hajat pada anak atau keturunan yang lazim didambakan oleh suami-istri lainnya. Sebagai upaya rasional sebagai jalan keluar dari permasalahan keluaga tersebut.[16]
Hal tersebut juga sesuai dengan firman Allah:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan”[17]
Adapun inseminasi buatan dengan sperma donor menurut yusuf al-Qardhawi adalah Haram. Inseminasi dengan donor akan menimbulkan banyak masalah seperti halnya masalah pada anak hasil perzinahan. Disamping itu inseminasi dengan cara tersebut juga tidak sesuai dengan moral etis dan kesusilaan.[18]
Dalam hadist yang diriwayatkan Ibn Abi Dunya disebutkan:
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ اَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحِيمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ
Artinya: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi allah daripada setetes sperma yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam rahim yang tidak halal baginya”[19] Jadi dapat disimpulkan bahwa upaya inseminasi buatan dan bayi tabung dibolehkan dalam ajaran Islam manakala perpaduan sperma dengan ovum itu bersumber dari suami istri yang sah. Karena upaya tersebut merupakan jalan keluar bagi pasangan yang menginginkan keturunan dan sifatnya hanyalah menghilangkan kesukaran sebagaimna kaidah fiqhiyah:  الضَّرَرُ يُزَالُ Artinya:
“Madharat (kesulitan) itu dapat dihindarkan (dalam agama)”[20]

C.PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI DALAM ISLAM
Istilah kontrasepsi berasal dari dua suku kata, yaitu kontra yang berarti mencegah atau melawan, dan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Jadi yang dimakasud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat dari pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut.[21]
Prisip dari alat kontrasepsi ini adalah mengusahakan agar tidak terjadi evolusi, melumpuhkan sperma, dan menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma. Dari prinsip-prinsip tersebut kemudian pelaksanaanya dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara, diantaranya adalah: AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim), susuk KB, pil KB, suntikan KB, kondom, dan lain sebagainya.
Meskipun program KB telah diperbolehkan dalam Islam, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya diperbolehkan mengggunakan sembarang alat kontrasepsi. Dalam Islam alat kontrasepsi atau  وَسَائِلُ مَنْعِ الْحَمْلِ sebagaimana yang sering digunakan dalam program KB, ada yang diperbolehkan dan dilarang.
Alat kontrasepsi yang dilegalkan oleh negara selama ini sangat terbatas, hal tersebut atas pertimbangan etis, moral dan hukum agama yang tidak menghendaki pelaksanaannya.[22]
Diantara alat kontrasepsi yang diperbolehkan adalah:
Untuk wanita: IUD (ADR), Pil, Obat suntik, Susuk, dan Cara-cara tradisional dan metode yang sederhana, misalnya: minum jamu. Untuk pria: Kondom, Coitus interruptus (‘azl menurut Islam) [23]
Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan bahwa coitus interruptus diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat:

كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالقُرْآنُ يُنْزِلُ
Artinya:
“kami melakukan azl pada masa rasulullah Saw, sedangkan al-Qur’an masih tetap diturunkan”. (HR. Bukhari)
Azl menurut hadits tersebut diperbolehkan karena pada waktu sahabat melakukannya tidak ada ayat yang melarangnya, padahal al-Qur’an masih selalu turun. Jadi seandainya perbuatan tersebut dilarang maka pasti akan ada ayat al-qur’an yang turun untuk mencegahnya, begitu pula sikap Nabi yang tidak melarangnya. Hal tersebut menunjukkan dibolehkanya cara Coitus Interruptus dalam Islam. Sedangkan alat kontrasepsi yang dilarang dalam Islam diantarnya adalah: Untuk wanita Menstrual Regulation (MR) atau pengguguran kandungan yang masih muda Abortus atau pengguguran kandungan yang sudah bernyawa
Ligasi tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengikat tempat ovum). Kedua istilah ini disebut dengan sterilisasi Untuk pria: seperti vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar). Cara ini juga disebut dengan sterilisasi.[24]
Cara-cara tersebut tidak diperbolehkan dalam agama Islam karena memandang aspek moral dan penuh resiko. MR dan aborsi dianggap sebagai tindakan kriminal karena melenyapkan janin, sedangkan sterilisasi dilarang karena sifatnya adalah permanen. Pemandulan dalam Islam yang diperbolehkan adalah yang berlaku pada waktu-waktu tertentu saja (temporer), jadi jika suatu saat sang suami-istri menginginkan seorang  anak, maka alat kontrasepsi dapat ditinggalkan. Namun pada sterilisasi bersifat pemandulan selama-lamanya, hal tersebutlah menjadikanya haram.

DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, 2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah. Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Hasan, M. Ali, 1998, Masail Fiqhiyah Al-Hadistah, Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mahyuddin, 1998, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia
Mujtaba, Saifuddin, 2008, Al-Masailul Fiqhiyah; Jawaban Hukum Islam Terhadap Masalah-Masalah Kontemporer, Surabaya: Omega Offset
Sayyid Sabiq, t.t., Fiqh As-Sunnah, Juz 2, Beirut: Dâr al-Kitab Al ‘Ârabi dalam Maktabah As-Syamilah
http://www.scribd.com/makalah-KONTRASEPSI/d/18753707 (30 Maret 2011)