Minggu, 28 April 2013
Minggu, 20 Mei 2012
langkah-langkah membuat proposal skripsi
Dalam membuat proposal skripsi secara
umum terdapat langkah-langkah atau kriteria yang harus dicantumkan dalam
proposal skripsi. untuk langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Latar Belakang Masalah
Latar belakang berisi uraian
mengenai penting dan perlu dilakukannya penelitian. Alasah harus diarahkan pada
sifat dan implikasi dari gejala itu sendiri, akan lebih baik lagi bila mendapat
justifikasi teori atau konsep. Karenanya, dalam latar belakang perlu
dikemukakan pula berbagai fakta untuk memperkuat alasan perlunya dilakukan
penelitian tersebut.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah kunci
dalam setiap penelitian, tidak ada masalah maka tidak ada penelitian. Masalah
penelitian hendaknya dirumuskan dengan tajam, jelas, terarah, dan harus
mengikuti logika berfikir yang benar dan didasarkan pada kreatifitas dan
imaginasi peneliti, yang dapat bersumber dari minat personal atau bersumber
dari teori
Masalah itu harus bersifat
problematis, artinya mempunyai kesenjangan antara yang nyata dengan yang ideal,
sehingga membutuhkan penjelasan karena kesenjangan itu akan mempunyai implikasi
yang luas baik secara teoritis mapun praktis. Karenanya, masalah itu cukup
satu. Kemudian, masalah tersebut dielaborasi (diturunkan) menjadi
pertanyaan-pertanyaan penelitian, tapi jangan terlalu banyak (maksimal tiga
pertanyaan), agar pertanyaan menjadi fokus, tidak melebar kemana-mana.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan tentunya sangat
ditentukan oleh masalah yang diajukan, dan intinya berisi tentang kontribusi
hasil penelitian bagi kepentingan keilmuan atau kepentingan-kepentingan yang
bersifat praktis.
4. Manfaat Penelitian
Menjelaskan tentang manfaat
penelitian baik untuk si pembaca, bidang ilmu tertentu, maupun untuk jurusannya
5. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Istilah “teori” di sini menunjuk pada
sumber penyusunan kerangka, yang bisa berupa teori yang ada, definisi konsep,
atau malah dapat pula dari logika. Orang biasanya ragu menggunakan kata
“teori”, karena dianggapnya hanya untuk penelitian yang bernalar deduktif.
Padahal tidak demikian. Sekali lagi, kerangka untuk menjawab pertanyaan
penelitian tetap diperlukan dalam penelitian bernalar induktif. Jika konsep
yang dijadikan sumber menyusun kerangka tersebut, maka sub judul ini bisa
diganti menjadi “kerangka konseptual”. Jika logika yang digunakan, maka sub
judul ini menjadi “kerangka pemikiran”.
6. Metode Penelitian
Pengertian metode, pendekatan,
dan penalaran dalam skripsi kita sering bercampur aduk dan salah pakai.
Metode penelitian merupakan cara
atau langkah-langkah konkrit dari penelitian: alasan pemilihan lokasi, dengan
cara apat data dikumpulkan, diolah dan dianalisis. Metode yang dipakai sangat
ditentukan oleh masalah yang diajukan.
Pendekatan adalah alat atau cara
pandang yang digunakan untuk “mendekati” masalah
Penalaran adalah cara atau alur
berfikir (induktif, deduktif)
7. Lokasi dan Waktu Penelitian*
Menjelaskan tempat penelitian
serta waktu pelaksanaan penelitian
8. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bersi paparan
riwayat penelitian yang pernah dilakukan, baik terkait dengan tema yang
diangkat maupun dengan lokasi/kawasan yang akan diteliti. Paparan itu tidak
hanya berisi tentang penemuan-penemuan penting dari peneliian yang sudah
dilakukan, tapi juga mengenai pendekatan dan metode yang mereka gunakan.
Karenanya, tinjauan pustaka juga berfungsi untuk menunjukkan orisinalitas
penelitian, bahwa penelitian ini beda dengan penelitian yang sudah dilakukan,
atau bisa juga bersifat melengkapi dan memperbaiki penelitian yang sudah
dilakukan.
Sumber : wordpress.com
Jumat, 04 Mei 2012
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
Salah
satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan
antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan
keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau
merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan
Yang Mahaesa.
"Wahai seluruh manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan
dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa". (QS 49: 13).
Kedudukan
perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau
dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan
perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad
Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir,
menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun,
maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi
dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan
mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan
Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak
dijadikan bahan perbandingan."
Almarhum
Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di
Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir
dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan
Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang
menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang
bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari’at pun meletakkan
keduanya dalam satu kerangka.
Kedudukan
Wanita Sebelum datangnya Islam
Status
wanita dalam Islam akan lebih mudah dan jelas dipahami kalau kita terlebih
dahulu melihat bentangan sejarah peradaban manusia tentang bagaimana wanita
diposisikan dalam masyarakat sebelum datangnya Islam. Apakah masyarakat
pra-Islam memposisikan wanita sama, lebih baik atau bahkan lebih jelek? Menurut
Jawad (1998) sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kedudukan wanita, sebelum
datangnya Islam, sangat mengkhawatirkan, mereka tidak dipandang sebagai manusia
yang pantas dihargai. Bahkan wanita tidak lebih dipandang sebagai makhluk
pembawa sial dan memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di
tempat yang terhormat di masyarakat. Praktek yang inhuman ini tercatat
berlangsung lama dalam sejarah peradaban masyarakat terdahulu. Mendeskripsikan
status wanita Yunani kuno, Badawi (1990) menulis: “….Athenian women were
always minors, subject to some male…”. Dalam tradisi Hindu, sebagaimana
tertulis dalam The Encyclopaedia Britannica, bahwa ciri seorang isteri
yang baik adalah wanita yang pikiran, perkataan, dan seluruh tingkah lakunya
selalu patuh pada suaminya bagaimanapun seorang suami bersikap kepadanya. Dalam
tradisi dan hukum Romawi Kuno bahkan disebutkan bahwa wanita adalah makhluk
yang selalu tergantung kepada laki-laki. Jika seorang wanita menikah, maka dia
dan seluruh hartanya secara otomatis menjadi milik sang suami. Ini hampir sama
dengan yang tertulis dalam English Common Law, …all real property
which a wife held at the time of a marriage became a possession of her husband.
Dalam
tradisi Arab, kondisi wanita menjelang datangnya Islam bahkan lebih
memprihatinkan. Wanita di masa jahiliyah dipaksa untuk selalu taat
kepada kepala suku atau suaminya. Mereka dipandang seperti binatang ternak yang
bisa di kontrol, dijual atau bahkan diwariskan. Arab jahiliyah terkenal
dengan tradisi mengubur bayi wanita hidup-hidup dengan alasan hanya akan
merepotkan keluarga dan mudah ditangkap musuh yang pada akhirnya harus ditebus.
Dalam dunia Arab jahiliyah juga dikenal tradisi tidak adanya batasan
laki-laki mempunyai isteri. Kepala suku berlomba-lomba mempunyai isteri
sebanyak-banyaknya untuk memudahkan membangun hubungan famili dengan suku lain.
Ali Asghar Engineer (1992) bahkan mencatat kebiasaan kepala suku untuk
mempunyai tujuh puluh sampai sembilan puluh isteri. Budaya barbar
penguburan hidup-hidup bayi wanita dan tidak adanya batasan mempunyai isteri
dilarang ketika Islam datang, dan ini bagi Engineer adalah salah satu prestasi
luar biasa peningkatan status wanita dalam Islam.
Tradisi
lain yang berkembang di masyarakat jahiliyyah sebelum Islam datang
adalah adanya tiga bentuk pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan wanita. Pertama
adalah nikah al-dayzan, dalam tradisi ini jika suami seorang wanita
meninggal, maka anak laki-laki tertuanya berhak untuk menikahi ibunya. Jika
sang anak berkeinginan untuk menikahinya, maka sang anak cukup melemparkan
sehelai kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai
isteri. Kedua, zawj al-balad, yaitu dua orang suami sepakat untuk saling
menukar isteri tanpa perlu adanya mahar. Ketiga adalah zawaj al
istibda. Dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh isterinya
untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri
dipaksa untuk kembali lagi kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan
sepasang suami isteri memperoleh “bibit unggul” dari orang lain yang dipandang
mempunyai kelebihan.
Dari
pemaparan bentuk-bentuk tradisi masyarakat pra-Islam terhadap wanita diatas
kita bisa berasumsi bahwa wanita sebelum Islam sangat dipandang rendah dan
tidak dianggap sebagai manusia, mereka lebih dipandang sebagai barang seperti
harta benda yang lainnya. Dengan asumsi ini kita dengan mudah akan melihat
bagaimana Islam memposisikan wanita dan mencoba menghapus tradisi jahiliyah
tersebut.
Wanita dalam Islam: Spiritual, Ekonomi dan Sosial
Ketika
mendiskusikan segala topik yang berhubungan dengan Islam, adalah tidak bisa
dihindarkan untuk selalu merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an.
Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kedudukan wanita dalam Islam,
bahkan salah satu surat dari Al-Quran disebut surat an-Nisa (Wanita).
Konsep yang paling familiar tentang kedudukan wanita dalam Islam yang sering
disebut al-Qur’an adalah konsep women equality. Equality,
responsibility dan accountability antara wanita dan laki-laki adalah
tema dalam Al-Quran yang sering ditekankan. Term persamaan antara laki-laki dan
wanita dimata Tuhan tidak hanya terbatas pada hal-hal spiritual atau isu-isu
religius semata, lebih jauh Al-Qur’an berbicara tentang persamaan hak antara
laki-laki dan wanita dalam segala aspekzkehidupan.
Menurut
Al-Qur’an, wanita dan laki-laki mempunyai spiritual human-nature yang
sama. Al-Qur’an menyebutkan bahwa kedua jenis kelamin, laki-laki dan wanita,
masing-masing berdiri sendiri dan independen. Al-Qur’an sama sekali tidak
pernah menyebutkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, bahkan isu
tentang jenis kelamin mana yang lebih dahulu diciptakan, Al-Quran tidak
memberikan spesifikasi yang jelas. Allah berfirman:
“Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan zawj; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain [264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu” (QS 4:1).
Muhammad
Asad (1980) dalam The Message of the Quran menulis bahwa kata Arab zawj
(mate) dalam ayat diatas secara gramatik bahasa adalah netral dan bisa
dipakai untuk menyebut laki-laki atau wanita. Karenanya, Al-Quran tidak
menyebut dengan jelas apakah Adam diciptakan terlebih dahulu kemudian Hawa dan
juga tidak menyebut kalau Hawa (wanita) adalah subordinasi dari Adam
(laki-laki). Fakta bahwa al-Qur’an tidak secara spesifik menyebut jenis kelamin
mana yang diciptakan lebih dahulu adalah bukti tidak adanya bias jender dalam
penciptaan manusia dalam Islam. Lebih jauh Al-Qur’an menyebut bahwa fungsi
utama penciptaan manusia (laki-laki dan wanita) adalah bahwa keduanya dipercaya
sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam
hal kewajiban moral-spiritual beribadah kepada Sang pencipta, Al-Quran
menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Dalam lebih
dari satu ayat, Al-Qur’an menyebut bahwa siapa pun yang berbuat baik, laki-laki
atau wanita, Tuhan akan memberikan pahala yang setimpal (QS: 3:195 dan 16:97).
Untuk
hak-hak yang bersifat ekonomis, Al-Qur’an mengenal adanya hak penuh bagi wanita
sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelum menikah seorang wanita memiliki
kekayaan pribadi, maka begitupun setelah dia menikah. Dia mempunyai hak kontrol
penuh terhadap kekayaannya. Berkenaan dengan hak ekonomis bagi wanita, Badawi
(1995) menyebutkan bahwa di Eropa, sampai akhir abad 19, wanita tidak mempunyai
hak penuh untuk memiliki kekayaan. Ketika seorang wanita menikah, secara
otomatis harta seorang wanita menjadi milik sang suami atau kalau si isteri mau
mempergunakan harta yang sebenarnya milik dia ketika belum menikah, harus
mempunyai ijin dari sang suami. Badawi menunjuk kasus hukum positif Inggris
sebagai contoh. Di Inggris, hukum positif tentang wanita mempunyai hak kepemilikan
baru diundangkan pada sekitar tahun 1860-an yang terkenal dengan undang-undang
“Married Women Property Act”. Padahal Islam telah mengundangkan hukum
positif hak pemilikan wanita 1300 tahun lebih awal ( Lihat QS 4:7dan 4:32).
Mendiskusikan
posisi wanita di bidang sosial, adalah penting untuk melihat bagaimana peranan
wanita sebagai anak, isteri dan ibu dalam Islam. Ketika tradisi penguburan
hidup-hidup bayi wanita menjamur dalam tradisi jahiliyah Arab, Islam
dengan tegas melarangnya dan bahkan menganggap tradisi itu sebagai tradisi
barbar yang tidak bermoral. Lebih jauh, sebagai ibu, wanita mempunyai posisi
yang sangat terhormat dalam Islam. Al-Qur’an memerintahkan setiap anak yang
beragama Islam untuk mempunyai respektifitas yang tinggi terhadap orang tua,
terutama ibu (QS 31:14).
Kegagalan
untuk hormat pada orang tua termasuk pelanggaran yang berimplikasi dosa besar.
Kedudukan wanita sebagai isteri pun sangat dihargai dalam Islam. Al-Qur’an
dengan jelas menekankan bahwa pernikahan dalam Islam adalah love-sharing
antara dua insan yang berbeda jenis dalam masyarakat dengan tujuan
mempertahankan keturunan dan menciptakan spiritual-harmony (QS 30:21).
Pemaparan
keadaan wanita dalam Islam diatas dengan jelas mengindikasikan bahwa posisi
wanita diangkat martabatnya ketika Islam datang. Kedatangan Islam bahkan
bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan pelecehan harkat
wanita. Fazlur Rahman (1982) menulis “… tak ada bukti sama sekali bahwa wanita
dalam Islam dipandang sebagai lebih rendah dari laki-laki”.
Perlunya Reinterpretasi Al-Qur’an
Meskipun dengan jelas
Al-Qur’an telah memposisikan wanita dalam martabat yang terhormat, ada beberapa
ayat yang dipandang sebagai adanya superioritas laki-laki atas wanita. Allah
berfirman:
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(QS
2:228).
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”
(QS 4:34).
Mengomentari
dua ayat di atas yang terkadang menjadi sumber miskonsepsi tentang wanita dalam
Islam, tokoh feminist Muslim seperti Fatima Mernissi (1992) dan Amina Wadud
(1999) menyarankan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an di atas perlu reinterpretasi.
Karena Al-Quran diturunkan dengan latar belakang sosio-historis Arab, maka kata
Rahman (1982) kita harus sadar bahwa al-Quran adalah respon Ilahi terhadap
kultur Arab, karenanya yang harus kita cari dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah
semangat ideal moral yang lebih luas yang bisa diterapkan disegala masa dan
tempat. Berkenaan dengan posisi wanita, yang harus kita cari adalah semangat
egaliter yang sering ditekankan Al-Qur’an.
Dalam
kata-kata Wadud (1999) untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana
Al-Qur’an berbicara tentang wanita, kaum Muslimin harus berani
meinginterpretasi seluruh ayat Al-Quran yang berbicara tentang wanita dan
menganalisanya dengan kritis dengan memperhatikan “its context, in the light
of overriding Quranic principles and within the context of the Quranic
weltanschauung”. Artinya Muslim dituntut untuk tidak hanya memahami
ayat-ayat Al-Qur’an tentang wanita secara tekstual dan literal tapi juga harus
memperhatikan konteks dimana dan kapan ayat Quran turun.
Akhirnya,
kalau secara prinsip Al-Quran mempromosikan peningkatan status wanita dalam
Islam dalam ayat-ayatnya dan wanita Muslim menikmati status itu di awal periode
kedatangan Islam, mengapa stereotype dan image bahwa wanita dalam Islam adalah
terbelakang, tertindas dan menjadi makhluk kelas dua muncul di abad Modern ini?
Sulit menjawabnya memang, tapi nampaknya penting untuk dicatat bahwa disamping
kita perlu mengkaji ulang dan reinterpretasi ayat-ayat Quran untuk
menjawab tantangan modernitas, adalah bijak kalau kita memperhatikan
pernyataan Ranna Kabbani (1989) dalam bukunya Letter to Christendom
yang mencatat: “…in Islamic society, as in the West, the oppression of women
is usually more the result of poverty and lack of education and other
opportunities, than of religion”.
Mungkin
Kabbani benar bahwa kalaupun ada kecenderungan memposisikan wanita sebagai kaum
kelas dua dalam masyarakat Islam, sebagaimana terjadi di Barat, bukan
disebabkan oleh faktor agama tapi lebih karena faktor kemiskinan, kurang
pendidikan dan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada wanita untuk
berkarya. Wallahu a’lam.
Perempuan
memiliki peranan yang tidak dapat diabaikan dengan mudah begitu saja. Banyak
peranan perempuan baik di dalam kehidupan keluarga, kehidupan ekonomi, politik,
sosial kebudayaan, hingga dalam pendidikan dan agama. Di tingkat keluarga,
sebagai seorang anak, perempuan berperan sebagai pemelihara tradisi, norma, dan
nilai-nilai luhur sehingga terdapat tuntutan bahwa di masyarakat ia harus
menunjukkan ciri feminism dan kepatuhan sebagai bentuk sifat kelembutan dan
perhatian yang ia miliki. Sebagai seorang istri, perempuan harus mampu menjadi
“abdi” setia yang siap melayani sepenuhnya hak-hak dan keinginan suami. Sebagai
seorang ibu bagi anak-anaknya, perempuan harus menjadi orang yang paling
“peduli”, sebagai orang pertama di lingkungan anak dan memiliki tanggung jawab
besar terhadap anak, mendidiknya dan menjadikannya shaleh dan shalehah,
berbakti dan berkepribadian baik.
Peranan yang dimainkan dalam
sebuah keluarga inilah yang sebenarnya menjadi dasar berlanjutnya perlakuan
diskriminasi jender. Perempuan harus mampu memegang dan mempertahankan citra
eksklusifnya di kalangan masyarakat. Citra perempuan yang ideal sebagai sosok
yang bergerak “sesuai kodratnya” masih tetap bergema dan semarak hingga saat
ini dan hal itu menjadi tuntutan umum yang dirasakan oleh perempuan-perempuan
dunia, terutama di Indonesia. Citra perempuan ideal tersebut dianggap sebagai
ketimpangan jender. Hal ini dikarenakan peranan yang dimaninkan oleh laki-laki
dan perempuan bukan berdasarkan tugas, hak, dan kewajiban sebenarnya secara
fisik melainkan sebagai pengampu tanggung jawab berdasarkan kodrat.
Berdasarkan hal tersebut, tak
jarang kaum perempuan sering dilukiskan sebagai pekerja keras dan rela
mengorbankan diri. Hal ini adalah akibat yang muncul dari ketimpangan jender
tersebut. Tak hanya masyarakat umum, banyak dari dalam diri permpuan pun
ternyata masih memiliki kesadaran rendah terhadap ketimpangan jender. Bahkan,
lebih parah adalah kaum perempuan seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah
menggali lobang permanen untuk memposisikan dirinya dalam ketimpangan tersebut
semakin kuat, terutama dalam keluarga. Untuk itu, di dalam sebuah pembangunan,
integrasi perempuan sangat diperlukan dalam mewujudkan adanya kesadaran sosial
yang tinggi (Subadio & Ihromi 1978).
PANDANGAN ISLAM TENTANG KB
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
masalah
Keluarga merupakan unit atau persekutuan terkecil dari masyarakat, dari unit ini kemudian berkembang menjadi unit lebih besar yang disebut suku, kabilah, marga, dan komunitas masyarakat yang lain, selanjutnya kesatuan suku-suku tersebut akan membentuk suatu persekutuan besar menjadi sebuah bangsa. Jadi keluarga merupakan unsur dasar dari terbentuk nya suatu bangsa atau kesatuan sosial yang besar itu sendiri.
Dalam agama Islam, membentuk suatu
keluarga didahului dengan prosesi nikah, yaitu penyatuan hubungan suami istri
dengan jalan yang halal. Menikah sangat dianjurkan oleh rasulullah SAW kepada
ummatnya, dalam sebuah hadist dikatakan “nikah adalah sunnahku, barang siapa
yang tidak menyukai sunnahku (menikah) maka ia bukan termasuk ummat dan
golonganku.” (HR. Ibn Majjah)
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi, upaya untuk mewujudkan suatu keluarga yang bahagia menemuai banyak kendala. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak seimbang dengan penghasilan yang yang semakin menurun sehingga menciptakan problem kemiskinan dimana-mana. Salah satu faktor penyebab masalah tersebut adalah semakin padatnya jumlah penduduk, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit karena banyak yang menggunakan teknologi mesin.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi, upaya untuk mewujudkan suatu keluarga yang bahagia menemuai banyak kendala. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak seimbang dengan penghasilan yang yang semakin menurun sehingga menciptakan problem kemiskinan dimana-mana. Salah satu faktor penyebab masalah tersebut adalah semakin padatnya jumlah penduduk, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit karena banyak yang menggunakan teknologi mesin.
Masalah kemiskinan tersebut kemudian
memproduksi sumber daya masyarakat yang kurang berkualitas berupa gelandangan,
pengemis, gembel dan lain sebagainya yang semakin mempersulit tujuan negara
untuk membentuk suatu bangsa yang maju, sejahtera dan makmur.
Dalam mengupayakan kesejahteraan bangsa,
upaya negara untuk membangun ke arah itu tentunya akan membutuhkan modal,
sarana, dan tenaga yang terampil dan berkualitas. Salah satu cara untuk menekan
kepadatan jumlah penduduk adalah dengan program keluarga berencana atau KB.
Namun dalam pelaksanaanya, KB tidak jarang menggunakan metode-metode yang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang terjadi di negara
Barat.
Di sisi lain, impian semua keluarga adalah mempunyai anak keturunan yang nantinya dapat menjadi pewaris bagi orang tuanya, sebuah keluarga akan terasa lengkap manakala mereka telah dikaruniai seorang anak. Namun impian untuk mendapatkan keturunan kadang tidak tecapai lantaran salah satu pasangan mandul atau masalah-masalah lain. Motif itulah yang kemudian mendorong untuk dikembangkannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung. Masalah-masalah tersebut tentunya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kerena itu dibutuhkan pendekatan khusus untuk menentukan hukum permasalahan yang terjadi pada masa kontemporer ini.
Di sisi lain, impian semua keluarga adalah mempunyai anak keturunan yang nantinya dapat menjadi pewaris bagi orang tuanya, sebuah keluarga akan terasa lengkap manakala mereka telah dikaruniai seorang anak. Namun impian untuk mendapatkan keturunan kadang tidak tecapai lantaran salah satu pasangan mandul atau masalah-masalah lain. Motif itulah yang kemudian mendorong untuk dikembangkannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung. Masalah-masalah tersebut tentunya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kerena itu dibutuhkan pendekatan khusus untuk menentukan hukum permasalahan yang terjadi pada masa kontemporer ini.
B. Rumusan masalah
Bagaimana
pandangan Islam mengenai KB?
Bagaimana
pandangan Islam mengenai inseminasi buatan?
Bagaimana
pendangan agama Islam mengenai penggunaan alat kontrasepsi?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. PELAKSANAAN
KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM ISLAM
Pengertian KB
Keluarga berencana (KB) merupakan usaha
yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu
maupun bayinya, ayah dan keluarganya, atau masyarakat yang bersangkutan,
sehingga tidak akan timbul kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran
tersebut. Secara khusus KB berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan
terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki
dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan.[1]
Di negara-negara Barat KB diterjemakan
dalam Family Planning yang dalam pelaksanaanya mencakup dua metode:
a.
Planning parenthood
Pelakasanaan metode ini menitik
beratkan kepada tanggung jawab orang tua untuk membentuk kehidupan rumah tangga
yang aman, dan tenteram meskipun tidak dengan jalan membatasi anggota keluarga.
Dalam bahasa arab metode ini diterjemahkan sebagai تَنْظِيْمُ النَّسْلِ
(mengatur keturunan).
b.
Birth control
Metode ini dilaksanakan dengan
penekanan jumlah anak atau menjarangkan kelahiran sesuai dengan situasi dan kondisi
suami istri. Dalam bahasa arab metode ini identik dengan تَحْدِيْدُالنَّسْلِ
(membatasi keturunan). Dalam prakteknya, di negara Barat dibolehkan dengan cara
pengguguran kandungan (abortus dan menstrual regulation), pemandulan
(infertilitas) dan pembujangan.[2]
Di Indonesia, program KB telah dilaksanakan sejak tahun 1968 melalui SK presiden No. 26 Tahun 1968 yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah yang bernama “Lembaga Keluarga berencana Nasional (LKBN)”, kemudian pada tahun 1969 program tersebut dimasukkan dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
Di Indonesia, program KB telah dilaksanakan sejak tahun 1968 melalui SK presiden No. 26 Tahun 1968 yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah yang bernama “Lembaga Keluarga berencana Nasional (LKBN)”, kemudian pada tahun 1969 program tersebut dimasukkan dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
Hukum
KB Di dalam al-Qur’an disebutkan:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
Artinya:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” [3]
Artinya:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” [3]
Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa
kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan
intelegensi anak akibat kekurangan gizi merupakan tanggung jawab kedua orang
tua. Maka disinilah peranan KB sangat diperlukan untuk membantu mereka keluar
dari masalah tersebut.
Setiap orang tentu mendambakan keseimbangan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk meraih keseimbangan tersebut tentunya membutuhkan banyak syarat baik syarat materil maupun spritual. Untuk memperoleh keseimbangan tersebut dalam al-Qur’an juga dijelaskan:
Setiap orang tentu mendambakan keseimbangan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk meraih keseimbangan tersebut tentunya membutuhkan banyak syarat baik syarat materil maupun spritual. Untuk memperoleh keseimbangan tersebut dalam al-Qur’an juga dijelaskan:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya:
“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [4]
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan
dengan pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan, maka pelaksanaan KB
diperdebatkan oleh kalangan ulama’, diantaranya ada yang membolehkan dan ada
yang melarang.
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut,[5] dan Sayyid Sabiq. Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan, menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.[6]
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut,[5] dan Sayyid Sabiq. Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan, menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.[6]
Syekh al-Hariri memberikan memberikan
ketentuan bagi individu dalam pelaksanaan KB, diantaranya: Untuk menjarangkan
anak.Untuk menghindari penyakit, bila ia mengandung. Untuk menghindari
kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya
(secara medis). Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu
menderita suatu penyakit (penyakit kandungan). Untuk menghindari anak dari
cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor.[7]
Sekh Mahmud Syaltut berpendapat bahwa
pembatasan keluarga تَحْدِيْدُالنَّسْل bertentangan
dengan syari’at Islam, sedangkan تَنْظِيْمُ
النَّسْل tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tandzim an-Nasl
diumpamakan dengan menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus,
baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun dengan
masyarakat dan negara. Alasan lainnya adalah karena jika suami istri menderita
suatu penyakit yang dikhawatirkan akan menular pada anaknya. [8]
Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah juga
membolehkan seseorang untuk melakasanakan KB dengan alasan sang ayah adalah
seorang faqir, tidak mampu memberikan pendidikan pada anak-anaknya, dan sang
ibu adalah orang yang dho’if (lemah) jika terus menerus melahirkan. Sebagaimana
yang tertulasi dalam kitan Fiqh Sunnah:[9]
فَيُبَاحُ التَّحْدِيْدُ فِي حَالَةِ مَا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ مُعِيلاًلَايَسْتَطِيْعُ الْقِيَامُ عَلَى تَرْبِيَّةِ أَبْنَائِهِ التَّرْبِيَّةَ الصَّحِيْحَةَ.
وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ ضَعِيْفَةً، أَوْ كَانَتْ مَوْصُوْلَةَ الْحَمْلِ، أَوْ كَانَ الرَّجُلُ فَقِيْرًا.
فَفِيْ مِثَلِ هَذِهِ الْحَالَاتِ يُبَاحُ تَحْدِيْدُ النَّسْلِ بَلْ إِنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاء رَأَى أَنَّ التَّحْدِيْدَ فِي هَذِهِ الْحَالَاتِ لَا يَكُونُ
مُبَاحًا فَقَطْ، بَلْ يَكُوْنُ مَنْدُوْباًإِلَيْهِ.
Artinya:
Pembatasan (keluarga) diperbolehkan dalam kasus apabila seorang laki-laki (ayah) adalah seorang pencari nafkah (1) dia tidak dapat melakukan pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya. Demikian pula jika sang ibu adalah wanita yang lemah, dan seorang yang sering hamil, atau seorang yang fakir.
Maka dalam kasus tersebut, pembatasan atau kontrol kelahiran diperbolehkan, namun beberapa ulama’ berpendapat bahwa pembatasan keluarga dalam kasus seperti itu tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan.
Pembatasan (keluarga) diperbolehkan dalam kasus apabila seorang laki-laki (ayah) adalah seorang pencari nafkah (1) dia tidak dapat melakukan pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya. Demikian pula jika sang ibu adalah wanita yang lemah, dan seorang yang sering hamil, atau seorang yang fakir.
Maka dalam kasus tersebut, pembatasan atau kontrol kelahiran diperbolehkan, namun beberapa ulama’ berpendapat bahwa pembatasan keluarga dalam kasus seperti itu tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan.
Sementara itu, salah satu ulama’ yang
melarang pelaksanaan KB adalah Abu ‘Ala al-Madudi (Pakistan), menurutnya
pembatasan kelahiran adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah
suatu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia, dan barangsiapa yang
merubah atau menyalahi fitrah maka ia telah menuruti perintah setan.[10]
Disamping pendapat tersebut, para ulama
yang menolak KB menggunakan dalil: ..
.وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ
إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ...
Artinya:
“... dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,..[11]
Pendapat tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa Allah Yang Maha Memberi Rezki.
“... dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,..[11]
Pendapat tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa Allah Yang Maha Memberi Rezki.
B. INSEMINASI BUATAN DALAM ISLAM
Menurut Ali Hasan, Inseminasi buatan
adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui
cara alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma laik-laki ke dalam rahim
wanita tersebut, dalam bahasa arab disebut dengan تَلْقِيْحُ الصِّنَاعِي Talqihushshina’i.[12]
Sedangkan menurut Mahyuddin, inseminasi
buatan adalah perpaduan sperma pria dengan ovum wanita, untuk maksud pembuahan
atau penghamilan.[13]
Inseminasi buatan juga dapat dikatakan
suatu penghamilan melalui proses memperpadukan sperma dengan ovum telur tanpa
melalui senggama, baik sperma tersebut dimasukkan langsung ke dalam rahim
wanita, maupun dengan cara mempertemukan keduanya di dalam tabung, kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita. Yang kemudian dimasukkan ke dalam rahim
wanita yang kemudian dikenal dengan istilah bayi tabung.[14]
Inseminasi menurut dari asal sperma
yang digunakan dibagi dua yaitu:
Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband)
Inseminasi buatan dengan sperma donor atau bukan dari suami atau AID (Artificial Insemination Donor). Para ulama’ membolehkan inseminasi dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara disuntikkan ke dalam rahim ibu maupun dengan cara pembuahan di luar rahim yang lazim disebut bayi tabung. Di antara ulama tersebut adalah Mahmud Syaltut, beliau menyatakan bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum dan syari’at yang diikuti oleh masyarakat beradab. Lebih lanjut beliau katakan ...”dan tidak menimbulkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dapat dijadikan suatu cara untuk memperoleh anak yang sah menurut syaria’at.[15]
Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband)
Inseminasi buatan dengan sperma donor atau bukan dari suami atau AID (Artificial Insemination Donor). Para ulama’ membolehkan inseminasi dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara disuntikkan ke dalam rahim ibu maupun dengan cara pembuahan di luar rahim yang lazim disebut bayi tabung. Di antara ulama tersebut adalah Mahmud Syaltut, beliau menyatakan bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum dan syari’at yang diikuti oleh masyarakat beradab. Lebih lanjut beliau katakan ...”dan tidak menimbulkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dapat dijadikan suatu cara untuk memperoleh anak yang sah menurut syaria’at.[15]
Prinsip kebolehan tersebut juga
didasarkan pada kaidah ushul fiqh:
تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ الحَاجَةُ
bahwa hajat atau keperluan yang sangat
penting diberlakukan seperti keadaan dharurat.
Menurut Saifuddin Mujtaba, pertimbangan
yang dapat dijadikan landasan dibolehkannya insiminasi buatan dengan sperma
suami adalah:
Tidak ada larangan dari al-Qur’an maupun al-Hadist mengenai hal tersebut.
Insiminsi buatan dengan sperma suami sendiri dapat dipandang sebagai semacam perawatan medis dan ikhtiar dari suami-istri yang sulit mendapatkan keturunan dengan cara normal. Dilakukan karena adanya unsur hajat pada anak atau keturunan yang lazim didambakan oleh suami-istri lainnya. Sebagai upaya rasional sebagai jalan keluar dari permasalahan keluaga tersebut.[16]
Tidak ada larangan dari al-Qur’an maupun al-Hadist mengenai hal tersebut.
Insiminsi buatan dengan sperma suami sendiri dapat dipandang sebagai semacam perawatan medis dan ikhtiar dari suami-istri yang sulit mendapatkan keturunan dengan cara normal. Dilakukan karena adanya unsur hajat pada anak atau keturunan yang lazim didambakan oleh suami-istri lainnya. Sebagai upaya rasional sebagai jalan keluar dari permasalahan keluaga tersebut.[16]
Hal tersebut juga sesuai dengan firman
Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan”[17]
“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan”[17]
Adapun inseminasi buatan dengan sperma
donor menurut yusuf al-Qardhawi adalah Haram. Inseminasi dengan donor akan
menimbulkan banyak masalah seperti halnya masalah pada anak hasil perzinahan.
Disamping itu inseminasi dengan cara tersebut juga tidak sesuai dengan moral
etis dan kesusilaan.[18]
Dalam
hadist yang diriwayatkan Ibn Abi Dunya disebutkan:
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ اَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ
نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحِيمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ
Artinya:
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi allah daripada setetes
sperma yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam rahim yang tidak halal
baginya”[19] Jadi dapat disimpulkan bahwa upaya inseminasi buatan dan bayi
tabung dibolehkan dalam ajaran Islam manakala perpaduan sperma dengan ovum itu
bersumber dari suami istri yang sah. Karena upaya tersebut merupakan jalan
keluar bagi pasangan yang menginginkan keturunan dan sifatnya hanyalah
menghilangkan kesukaran sebagaimna kaidah fiqhiyah: الضَّرَرُ يُزَالُ Artinya:
“Madharat (kesulitan) itu dapat dihindarkan (dalam agama)”[20]
“Madharat (kesulitan) itu dapat dihindarkan (dalam agama)”[20]
C.PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI DALAM
ISLAM
Istilah kontrasepsi berasal dari dua
suku kata, yaitu kontra yang berarti mencegah atau melawan, dan konsepsi adalah
pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria)
yang mengakibatkan kehamilan. Jadi yang dimakasud dari kontrasepsi adalah
menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat dari pertemuan antara
sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut.[21]
Prisip dari alat kontrasepsi ini adalah
mengusahakan agar tidak terjadi evolusi, melumpuhkan sperma, dan menghalangi
pertemuan sel telur dengan sperma. Dari prinsip-prinsip tersebut kemudian
pelaksanaanya dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara, diantaranya
adalah: AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim), susuk KB, pil KB, suntikan KB,
kondom, dan lain sebagainya.
Meskipun program KB telah diperbolehkan dalam Islam, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya diperbolehkan mengggunakan sembarang alat kontrasepsi. Dalam Islam alat kontrasepsi atau وَسَائِلُ مَنْعِ الْحَمْلِ sebagaimana yang sering digunakan dalam program KB, ada yang diperbolehkan dan dilarang.
Alat kontrasepsi yang dilegalkan oleh negara selama ini sangat terbatas, hal tersebut atas pertimbangan etis, moral dan hukum agama yang tidak menghendaki pelaksanaannya.[22]
Meskipun program KB telah diperbolehkan dalam Islam, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya diperbolehkan mengggunakan sembarang alat kontrasepsi. Dalam Islam alat kontrasepsi atau وَسَائِلُ مَنْعِ الْحَمْلِ sebagaimana yang sering digunakan dalam program KB, ada yang diperbolehkan dan dilarang.
Alat kontrasepsi yang dilegalkan oleh negara selama ini sangat terbatas, hal tersebut atas pertimbangan etis, moral dan hukum agama yang tidak menghendaki pelaksanaannya.[22]
Diantara alat kontrasepsi yang
diperbolehkan adalah:
Untuk
wanita: IUD (ADR), Pil, Obat suntik, Susuk, dan Cara-cara tradisional dan
metode yang sederhana, misalnya: minum jamu. Untuk pria: Kondom, Coitus interruptus
(‘azl menurut Islam) [23]
Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan
bahwa coitus interruptus diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
sahabat:
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالقُرْآنُ يُنْزِلُ
Artinya:
“kami melakukan azl pada masa rasulullah Saw, sedangkan al-Qur’an masih tetap diturunkan”. (HR. Bukhari)
“kami melakukan azl pada masa rasulullah Saw, sedangkan al-Qur’an masih tetap diturunkan”. (HR. Bukhari)
Azl menurut hadits tersebut
diperbolehkan karena pada waktu sahabat melakukannya tidak ada ayat yang
melarangnya, padahal al-Qur’an masih selalu turun. Jadi seandainya perbuatan
tersebut dilarang maka pasti akan ada ayat al-qur’an yang turun untuk
mencegahnya, begitu pula sikap Nabi yang tidak melarangnya. Hal tersebut
menunjukkan dibolehkanya cara Coitus Interruptus dalam Islam. Sedangkan alat
kontrasepsi yang dilarang dalam Islam diantarnya adalah: Untuk wanita Menstrual
Regulation (MR) atau pengguguran kandungan yang masih muda Abortus atau
pengguguran kandungan yang sudah bernyawa
Ligasi tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengikat tempat ovum). Kedua istilah ini disebut dengan sterilisasi Untuk pria: seperti vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar). Cara ini juga disebut dengan sterilisasi.[24]
Ligasi tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengikat tempat ovum). Kedua istilah ini disebut dengan sterilisasi Untuk pria: seperti vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar). Cara ini juga disebut dengan sterilisasi.[24]
Cara-cara tersebut tidak diperbolehkan
dalam agama Islam karena memandang aspek moral dan penuh resiko. MR dan aborsi
dianggap sebagai tindakan kriminal karena melenyapkan janin, sedangkan
sterilisasi dilarang karena sifatnya adalah permanen. Pemandulan dalam Islam
yang diperbolehkan adalah yang berlaku pada waktu-waktu tertentu saja
(temporer), jadi jika suatu saat sang suami-istri menginginkan seorang
anak, maka alat kontrasepsi dapat ditinggalkan. Namun pada sterilisasi bersifat
pemandulan selama-lamanya, hal tersebutlah menjadikanya haram.
DAFTAR
PUSTAKA
Depag RI, 2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah. Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Hasan, M. Ali, 1998, Masail Fiqhiyah Al-Hadistah, Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mahyuddin, 1998, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta:
Kalam Mulia
Mujtaba, Saifuddin, 2008, Al-Masailul Fiqhiyah; Jawaban Hukum Islam
Terhadap Masalah-Masalah Kontemporer, Surabaya: Omega Offset
Sayyid Sabiq, t.t., Fiqh As-Sunnah, Juz
2, Beirut: Dâr al-Kitab Al ‘Ârabi dalam Maktabah As-Syamilah
http://www.scribd.com/makalah-KONTRASEPSI/d/18753707
(30 Maret 2011)
Langganan:
Postingan (Atom)